Archives

All posts for the month June, 2012

Rumah Nomor Sembilan

Published June 25, 2012 by peripenulis

By : Maria Ch Michaela

 

Langit malam nan berbintang menyelimuti kota yang terlelap. Suasana kompleks perumahan Elok Permai pun begitu lengang, tanda segenap penghuninya sedang sibuk berpetualangan dalam mimpi mereka. Namun, tidak semua dari mereka tertidur.

Pintu depan rumah nomer sembilan tiba-tiba menjeblak terbuka dan seorang gadis tergopoh-gopoh berlari keluar sembari menyeret adik lelakinya.

“Ayolah, Frans! Cepat! Nanti dia berhasil keluar! Ayoo…” tangan Melinda gemetar dalam gentar tatkala ia berusaha membuka kunci pagar.
Berhasil!

“Aww!” Melinda mengaduh saat tubuhnya limbung gara-gara tersandung aspal yang tak rata. Frans buru-buru menyangganya.

Jika telingamu mendengarkan baik-baik, kau bisa mendengar suara gedoran murka dari sebuah pintu di dalam sana.

Seekor anjing menyalak tak henti. Kedua kaki depannya mengais-ngais kaca jendela, menatap Melinda dan Frans penuh harap.

“Kita seharusnya membawa Wolfie juga, Kak!”

“Tak bisa, Frans!” Melinda menatap penuh duka pada Wolfie.

“Tapi Ayah mungkin akan membunuh dia!” Frans berteriak.

“Dan dia mungkin akan membunuh kita kalau kita kembali. Ayolah! Kita pergi sekarang!” Melinda menatap terakhir kalinya pada Wolfie, rumah nomor sembilan, dan rumah-rumah tetangganya yang kelihatan begitu hening. Lalu ia menggamit lengan adiknya dan mereka berlari tanpa menoleh lagi.

*

Tante Anna pasti membantu.. pasti ia mau… dia harus mau.. Kata-kata itu diucapkan Melinda selayak mantra. Tubuhnya penat dan matanya ingin terpejam, namun ia bertahan. Kepala adiknya jatuh di bahunya. Frans begitu lelap. Ia pasti  kecapekan sehabis berjalan berkilo-kilometer menuju terminal bus. Di tengah malam buta begini, Melinda tak mau mengambil risiko naik taxi. Berjalan kaki hingga terminal dirasanya lebih aman.

AC bus menyiram keningnya yang masih menyisakan peluh. Segenap inderanya masih menyimpan pemandangan ayah mereka yang mabuk berat itu mengamuk.

Melinda sudah bersiap. Ia tahu. Ia selalu tahu hari ini akan datang. Semenjak hidungnya berdarah dan tubuhnya memar gara-gara ayah mendorongnya ke dinding, Melinda tahu minggat adalah pilihan terbaik mereka. Namun butuh waktu berbulan-bulan dan belasan memar sebelum ia berani melakukan hal itu.

 Tubuhnya menggigil saat teringat bagaimana dengan sekuat tenaga ia mendorong ayahnya yang mabuk berat ke dalam kamar dan mengunci kamar itu. Lalu ia dan Frans bergegas melarikan diri.

Maaf Ayah, tapi kami tak tahan dipukul dan diserapahi selalu olehmu. Kau seharusnya bangkit dari duka atas kematian Ibu dan menopang kami yang juga berduka, bukannya menjadikan kami sasak tinju. Maaf aku meninggalkanmu, namun tak bisa bila kita semua jatuh.

Melinda mengintip ke dalam tasnya, memastikan dompet dan ponselnya masih ada. Ia sudah membawa sejumlah uang dan seluruh tabungan dalam kartu ATM-nya. Tapi Tante Anna harus menolong dulu sebelum mereka dapat hidup mandiri. Adik sepupu mendiang ibunya itu selalu baik kepada mereka selama ini. Melinda sudah mengiriminya SMS sedari tadi bahwa mereka akan datang ke rumahnya, namun belum ada balasan. Ditelepon pun tidak bisa. Bagaimana ini?

Kepala Frans semakin mendesak bahunya. Frans baru sepuluh tahun, baru akan naik ke kelas lima, sementara tahun ini Melinda akan berumur delapan belas. Melinda memeluk tasnya erat dan merangkul adiknya. Ia ingin menumpahkan tangisan namun khawatir memancing perhatian. Bagaimana hari esok mereka? Bagaimana nanti sekolah Frans? Bagaimana nasib mereka? Bisakah ia melanjutkan ke universitas? Bahkan, di mana mereka akan tinggal sehabis ini?

Sebutir air matanya terbit. Apakah Ayah masih menggedor-gedor pintu kamar? Atau sudah jatuh tertidur? Besok, akankah Ayah mencari mereka? Atau ia hanya akan mencari minuman keras seperti biasanya?

Oh Tuhan tolonglah kami… Bu, tolong kami.. Semakin erat Melinda merangkul Frans dan tasnya saat membisikkan doanya.

Pikirannya melayang pada sebuah rumah bercat krem hangat nomor sembilan, Wolfie kecil yang berlari-lari di taman, sosok ibunya bernyanyi lembut di dapur, dan ayahnya yang bermain bola dengan Frans yang masih balita.
Melinda meremas tasnya. Semua kenangan itu membuatnya perih. Kini ia bahkan tidak tahu kapan lagi ia bisa tidur di kamarnya. Wolfie… semoga ayah memberimu makan.

Angannya lalu melayang pada pemandangan ibunya yang sekarat tergolek lemah di rumah sakit. Senyum di wajah ayah lalu sirna, berganti dengan kerut-kerut pedih yang permanen. Satu titik air mata lagi jatuh saat Melinda teringat bagaimana Ayah mencoba melupakan kepedihannya dengan minuman keras.

Ponselnya bergetar. Melinda mengusap matanya. Dengan tergesa, ia mengeluarkan ponselnya dari tas.

Mel, maaf tadi low bat. Oke, kamu dan Frans tinggal dulu sama tante sampai semuanya beres ya. Kabari kalo sudah dekat. Nanti Tante jemput. Tenang Mel sayang, semuanya akan baik-baik saja.

Melinda menghembus nafasnya. Secercah harapan menghampirinya. Walau rasa khawatir masih erat mencengkeramnya, untuk pertama kali dalam beberapa jam terakhir ini, ia bisa bernafas lega. Semua akan baik-baik saja. Harus.

Ya, Tuhan pasti menolong mereka… Tuhan pasti menolong…